Sejarah Indonesia (1945-1949), Insiden Sesudah Proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesian History.
Sejarah Indonesia selama 1945—1949 dimulai dengan masuknya Sekutu diboncengi oleh Belanda (NICA) ke aneka macam wilayah Indonesia sesudah kekalahan Jepang, dan diakhiri dengan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Terdapat banyak sekali insiden sejarah pada masa itu, pergantian aneka macam posisi kabinet, Aksi Polisionil oleh Belanda, aneka macam perundingan, dan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.
Berikut ini ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 1945-1949:
Tahun 1945
Mendaratnya Belanda dan Sekutu.
Berdasarkan Civil Affairs Agreement, pada 23 Agustus 1945 Inggris bersama tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh. 15 September 1945, tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka negosiasi atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau konsepsi kenegaraan), tetapi ia mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara dengan Soekarno yang dianggapnya telah bekerja sama dengan Jepang. Pidato Ratu Wilhemina itu menegaskan bahwa di lalu hari akan dibuat sebuah persemakmuran yang di antara anggotanya ialah Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda, di bawah pimpinan Ratu Belanda.
Pertempuran Melawan Sekutu dan NICA.
Banyak pertempuran yang terjadi ketika masuknya Sekutu dan NICA ke Indonesia, diantaranya :
Peristiwa 10 November, di tempat Surabaya dan sekitarnya.
Palagan Ambarawa, di tempat Ambarawa, Semarang dan sekitarnya.
Perjuangan Gerilya Jenderal Soedirman, mencakup Jawa Tengah dan Jawa Timur
Bandung Lautan Api, di tempat Bandung dan sekitarnya.
Pertempuran melawan Sekutu dan NICA.
Terdapat aneka macam pertempuran yang terjadi pada dikala masuknya Sekutu dan NICA ke Indonesia, yang dikala itu gres menyatakan kemerdekaannya. Pertempuran yang terjadi di antaranya adalah:
- Pertempuran Bojong Kokosan, di Bojong Kokosan, Sukabumi pada 9 September 1945, dipimpin Letkol (TKR) Eddie Sukardi.
- Pertempuran Lima Hari, di Semarang pada 15-19 Oktober 1945 (melawan Jepang).
- Peristiwa 10 November, di tempat Surabaya pada 10 November 1945, dipimpin Kolonel (TKR) Sungkono.
- Pertempuran Medan Area, di tempat Medan dan sekitarnya pada 10 Desember 1945-10 Agustus 1946, dipimpin oleh Kolonel (TKR) Achmad Tahir.
- Palagan Ambarawa, di tempat Ambarawa, Semarang pada 12-15 Desember 1945, dipimpin Kolonel (TKR) Sudirman.
- Pertempuran Lengkong, di tempat Lengkong, Serpong pada 25 Januari 1946, dipimpin oleh Mayor (TKR) Daan Mogot.
- Bandung Lautan Api, di tempat Bandung pada 23 Maret 1946, atas perintah Kolonel (TRI) A.H. Nasution.
- Pertempuran Selat Bali, di Selat Bali pada April, dipimpin oleh Kapten Laut (TRI) Markadi.
- Pertempuran Margarana, di Margarana, Tabanan, Bali pada 20 November 1946, dipimpin oleh Letkol (TRI) I Gusti Ngurah Rai.
- Pembantaian Westerling, di Sulawesi Selatan pada 11 Desember 1946-10 Februari 1947, akhir dari perburuan terhadap Wolter Monginsidi.
- Pertempuran Lima Hari Lima Malam, di Palembang pada 1-5 Januari 1947, dipimpin oleh Kolonel (TRI) Bambang Utojo.
- Pertempuran Laut Cirebon, di Cirebon pada 7 Januari 1947, dipimpin oleh Kapten Laut (TRI) Samadikun.
- Pertempuran Laut Sibolga, di Sibolga pada 12 Mei 1947, dipimpin oleh Letnan II Laut (TRI) Oswald Siahaan.
- Agresi Militer I pada 21 Juli-5 Agustus 1947.
- Pembantaian Rawagede di Rawagede, Karawang pada 9 Desember 1947, akhir dari perburuan terhadap Kapten (TNI) Lukas Kustarjo.
- Agresi Militer II pada 19–20 Desember 1948.
- Serangan Umum 1 Maret 1949, di Yogyakarta pada 1 Maret 1949, dipimpin oleh Letkol (TNI) Suharto.
- Serangan Umum Surakarta, di Surakarta pada 7-10 Agustus 1949, dipimpin oleh Letkol (TNI) Slamet Rijadi.
Tahun 1946 - 1947
Ibukota Dipindah ke Yogyakarta.
Pada tanggal 4 Januari 1946, Soekarno dan Hatta pindah ke Yogyakarta sekaligus memindahkan ibukota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta alasannya keadaan Jakarta yang dirasa semakin gawat akhir serangan dari NICA.
Perubahan Sistem Pemerintahan
Salah satu faktor yang memicu perubahan sistem pemerintahan dari presidensiil menjadi parlementer ialah pernyataan van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno. Tindakan ini sudah terbaca oleh pihak Republik Indonesia, alasannya itu sehari sebelum kedatangan Sekutu, tanggal 14 November 1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai tokoh yang sempurna untuk dijadikan andalan diplomatik, bertepatan dengan terkenalnya partai sosialis di Belanda.
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia (dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer) memungkinkan negosiasi antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan Inggris dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan Jepang.
Penculikan Terhadap PM Syahrir.
Tanggal 27 Juni 1946 terjadi insiden penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir, alasannya ia dicap sebagai "pengkhianat yang menjual tanah airnya kepada musuh". Sjahrir diculik di Surakarta, ketika ia berhenti dalam perjalanan politik menelusuri Jawa. Kemudian ia dibawa ke Paras, kota akrab Solo, di rumah peristirahatan seorang pangeran Solo dan ditahan di sana dengan pengawasan Komandan Batalyon setempat.
Pada malam tanggal 28 Juni 1946, Ir Soekarno berpidato di radio Yogyakarta. Ia mengumumkan bahwa keadaan di dalam negeri dikala itu sedang berbahaya, maka dari itu Soekarno dengan persetujuan kabinetnya mengambil alih semua kekuasaan pemerintah dan hal itu berlangsung selama sebulan lebih. Tanggal 3 Juli 1946, Sjahrir dibebaskan dari penculikan; namun gres tanggal 14 Agustus 1946, Sjahrir diminta kembali untuk membentuk kabinet dan resmi kembali menjadi perdana menteri pada tanggal 2 Oktober 1946.
Peristiwa Westerling.
Pembantaian Westerling ialah sebutan untuk insiden pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda dibawah pimpinan Westerling. Peristiwa ini terjadi pada Desember 1946-Februari 1947.
Proklamasi Negara Pasundan.
Di awal bulan Mei 1947 pihak Belanda yang memprakarsai berdirinya Negara Pasundan . Sejak awal Belanda memang sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai pihak Republik sanggup ditaklukkan dalam waktu dua ahad dan untuk menguasai seluruh wilayah Republik dalam waktu enam bulan. Namun mereka pun menyadari begitu besarnya biaya yang ditanggung untuk pemeliharaan suatu pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa, yang sebagian besar dari pasukan itu tidak aktif, merupakan pemborosan keuangan yang serius yang mustahil dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur diakibatkan perang. Oleh alasannya itu untuk mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda memerlukan komoditi dari Jawa (khususnya gula) dan Sumatera (khususnya minyak dan karet).
Agresi Militer I
Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari semoga supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Namun RI menolak hal ini.
Tujuan utama aksi Belanda ialah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan tempat yang mempunyai sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan aksi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri.
Serangan di beberapa daerah, ibarat di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda semenjak tanggal 21 Juli malam. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, target mereka ialah tempat perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, target utamanya ialah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Tahun 1948 - 1949
Perjanjian Renville
Perjanjian ini dilakukan di atas kapal perang milik Amerika yang berjulukan USS Renville pada tanggal 17 Januari 1948 yang dintandatangani oleh Belanda dan Indonesia. Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melaksanakan gencatan senjata sampai ditandatanganinya Persetujuan Renville, tapi pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan aneka macam laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan Tentara Nasional Indonesia juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, ibarat yang terjadi antara Karawang dan Bekasi.
Agresi Militer II.
Agresi Militer Belanda II terjadi pada tanggal 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia dikala itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini mengakibatkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap tinggal dalam kota semoga akrab dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik sanggup diadakan.
Jatuhnya Kabinet Amir dan Naiknya Hatta Sebagai Perdana Menteri.
Amir meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari 1948. Dengan pengunduran dirinya ini, beliau mengharapkan munculnya kabinet gres yang beraliran komunis untuk menggantikan posisinya. Harapan itu menjadi buyar ketika Soekarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk Hatta untuk memimpin suatu 'kabinet presidentil' darurat (1948-1949), dimana seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.
Dengan terpilihnya Hatta, beliau menunjuk para anggota yang duduk dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama orang-orang PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Amir dan kelompoknya dari sayap kiri sekarang menjadi pihak oposisi. Dengan mengambil perilaku sebagai oposisi tersebut menciptakan para pengikut Sjahrir mempertegas perpecahan mereka dengan pengikut-pengikut Amir dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus menunjukkan dukungannya kepada pemerintah Hatta.
Tahun 1948-1949
Agresi Militer II
Agresi Militer II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia dikala itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini mengakibatkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta
Serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III -dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat- menurut arahan dari Panglima Besar Sudirman, untuk pertanda kepada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia -berarti juga Republik Indonesia- masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian sanggup memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta pertanda pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
Perjanjian Roem Royen.
Akibat dari Agresi Militer tersebut, pihak internasional melaksanakan tekanan kepada Belanda, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuannya kepada Belanda, kesannya dengan terpaksa Belanda bersedia untuk kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949, Republik Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem Royen.
Serangan Umum Surakarta
Serangan Umum Surakarta berlangsung pada tanggal 7-10 Agustus 1949 secara gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa yang berjuang tersebut lalu dikenal sebagai tentara pelajar. Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-maskas Belanda di Solo dan sekitarnya. Serangan itu menyadarkan Belanda kalau mereka tidak akan mungkin menang secara militer, mengingat Solo yang merupakan kota yang pertahanannya terkuat pada waktu itu berhasil dikuasai oleh Tentara Nasional Indonesia yang secara peralatan lebih tertinggal tetapi didukung oleh rakyat dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang hebat ibarat Slamet Riyadi.
Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar ialah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus sampai 2 November 1949. Yang menghasilkan kesepakatan:
Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat.
Irian Barat akan diselesaikan setahun sesudah legalisasi kedaulatan.
Penyerahan kedaulatan oleh Belanda
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, selang empat tahun sesudah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Pengakuan ini dilakukan ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (Aksi Polisionil) pada 1945-1949 ialah ilegal.